MENGAPA AGAMA KRISTEN DAN KATOLIK MENOLAK KERAS PELAKSAAN HUKUMAN MATI DI DUNIA?

Pdm Ir Mustika Ranto Gulo (hikmat menjadikan kaya 4)

Hikmat Menjadikan Kaya

Apakah orang kristen berpihak kepada penjahat? Mengapa penjahat dibela, bukankah mereka pantas dihukum mati karena telah merugikan manusia lainnya? Apakah Kristen bisa menjelaskan hal ini? Ada 5 alasan-alasan yang klasik dan berulang-ulang dibahas dalam berbagai kesempatan baik dalam seminar keagamaan maupun dalam kongres selevel dunia. Alasan2 inilah yang menimbulkan banyak keraguan negara di dunia, sehingga lembaga HAM menyetujui pelarangan pelaksanaan hukuman mati diseluruh muka bumi. 1. Semua manusia adalah setara dan memiliki hak hidup 2. Manusia telah jatuh dalam dosa dan satu orang pun tak ada yang benar 3. Manusia tidak berhak mencabut nyawa sesamanya 4. Manusia berhaga di mata TUHAN, karena manusia adalah ciptaan yang mulia 5. Pemerintah bertanggung jawab untuk mengalahkan kejahatan warganya Referensi di atas kita akan bahas satu persatu melalui analisis teks dan kebahasaan yang bersumber dari ALKITAB. BACA KUTIPAN DIBAWAH INI : Hukuman mati terhadap sejumlah narapidana kasus narkoba mendapat penentangan dari dua kalangan. Kaum Kristen dan LSM Liberal adalah pihak-pihak yang menolak pelaksanaan hukuman mati terhadap napi narkoba. Gereja Katolik Indonesia, misalnya, tegas menentang keras hukuman mati dengan dalih hak hidup adalah hak dasar dan hanya bisa dicabut oleh Sang Pencipta. Pastor Siswantoko Pr mengaku prihatin atas sikap Presiden Joko Widodo yang mempercepat eksekusi hukuman mati enam orang terpidana hukuman mati kasus narkoba yang terdiri dari lima orang di Nusa Kambangan dan 1 orang di Boyolali, 18 Januari nanti. “Tidak seorang pun berhak menghilangkan nyawa orang lain, termasuk negara.  Hak hidup adalah hak yang paling mendasar, pemberian dari Sang Pencipta dan bukan buatan manusia serta konstruksi budaya. Oleh karena itu Gereja Katolik selalu ingin membela kehidupan  (pro Life). Bagi Gereja, penjahat kelas kakap sekali pun masih mempunyai hak untuk hidup dan Negara harus memberikannya. Hak tersebut bersifat universal dan tidak bisa diperdebatkan,” kata Pastor Siswantoko kepada Antaranews di Jakarta, Jumat (16/01). Gereja Katolik menentang hukuman mati kepada keenam terpidana dengan alasan masih meragukan sistem penegakan hukum di Indonesia. Pastor Siswantoko mempertanyakan keadilan dan transparansi serta keobyektifan pengadilan Indonesia ketika masih banyak kasus salah tangkap. “Gereja Katolik mendesak kepada pemerintah Joko Widodo  agar hukuman mati dihapuskan dari ranah hukum di Negara Indonesia ini karena tidak memiliki dampak apa-apa untuk terwujudnya penegakan hukum yang bermartabat dan keadilan sebagaimana yang diharapkan,” kata dia. Salah satu solusi pengganti hukuman mati, menurut Pastor Siswantoko, adalah hukuman penjara seumur hidup sebagaimana diatur KUH Pidana Republik Indonesia tanpa pengampunan  hingga si pelaku pidana meninggal dunia tanpa ada intervensi hukuman mati oleh siapa pun. Sikap senada juga disampaikan kalangan LSM Liberal. Mereka mengklaim penerapan hukuman mati dan penolakan grasi oleh Jokowi merupakan dilema bagi penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Menurut Yuyun Wahyuningrum, Senior Advisor on ASEAN and Human Rights, bila Indonesia masih menerapkan hukuman mati, maka itu adalah kemunduran HAM di Indonesia sekaligus menumpulkan senjata diplomatik negara Indonesia. “Ini adalah suatu hal yang saya tidak bisa terima. Sebagai negara yang bicara menjunjung HAM, mempromosikan HAM, tapi sekarang menginstitusionalkan pembunuhan dengan basis narkoba,” katanya, Kamis. “Ini membuat kita kembali kehilangan diplomatik tool untuk melindungi warga negara Indonesia di luar negeri,” lanjutnya. Buruh migran misalnya, para buruh migran yang kita kenal menurut Yuyun kalaupun mereka membunuh, mereka membunuh karena melindungi diri sendiri dan hal itu bukan sesuatu yang mereka rencanakan. “Bagaimana kita bisa memperjuangkan hukuman mati bagi buruh migran di luar negeri jika kita memberlakukan hukuman mati di negeri sendiri?” kata Yuyun. Sikap yang sama disampaikan Komisi Perempuan Nasional (Komnas) Perempuan. Dengan dalih melindungi hak-hak perempuan, LSM plat merah ini menentang eksekusi hukuman mati yang dijatuhkan Jaksa Agung atas enam orang terpidana hukuman mati kasus narkoba, terutama terhadap Rani Andriani alias Mellisa Aprillia, seorang perempuan asal Cianjur, Jawa Barat. Komnas Perempuan menyebutkan hukuman mati karena bertentangan dengan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia atau “The United Nations Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment”. Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut melalui UU No 5 Tahun 1998 pada 28 September 1998. Melalui UU itu Indonesia juga melakukan deklarasi terhadap ketentuan Pasal 20 ayat (1) ayat (2), dan ayat (3) serta melakukan reservasi terhadap ketentuan Pasal 30 ayat (1). Hukuman mati, menurut Komnas Perempuan, dinilai bertentangan dengan hak asasi manusia yaitu: hak untuk hidup. Padahal, hukuman seharusnya manusiawi dan memberi efek jera yang edukatif. “Indonesia sudah melakukan moratorium pelaksanaan hukuman mati dan banyak digunakan sebagai alat politik untuk menunjukkan ketegasan negara, yang justru melemahkan posisi moral politis Indonesia sebagai negara yang anti kemanusiaan, kejahatan diperlakukan dengan kejahatan dan kemanusiaan menjadi korban,” kata Ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah. Lebih lanjut, Komnas Perempuan meminta presiden mendengarkan pendapat lembaga-lembaga Hak Asasi Manusia, sebagai lembaga negara dalam membuat keputusan terkait isu hak asasi, di samping lembaga-lembaga lain. “Negara harus mulai menghentikan hukuman mati untuk membangun keberadaban hak asasi,” katanya.

Tinggalkan komentar